" Kualitas pertama yang perlu diperhatikan yaitu bahwa pensil dapyt menjadi pengingat kita kalau kita bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Yakni, mengingatkan bahwa seperti sebuah pensil ketika menulis, kita tidak boleh lupa bahwa ada tangan yang selalu membimbing langkah kita dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan. Dia selalu membimbing kita sesuai dengan ajaran-ajaranNya."
" Kualitas kedua , Kamu bisa memperhatikan, bahwa saat proses menulis, kita kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil kita. Rautan itu seakan membuat si pensil menderita. Tetapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kehidupan manusia. Kita harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, termasuk berbagai ujian dan tantangan, karena itu semua yang akan membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dan berkualitas."
" Kualitas ketiga yang perlu kamu camkan adalah bahwa pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk menggunakan penghapus sebagai upaya memperbaiki kesalahan. Oleh karena itu, memperbaiki kesalahan dalam hidup ini bukanlah hal yang jelek atau buruk. Itu bahkan membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar. Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa kita tak pernah luput dari berbagai jenis kesalahan."
" Kualitas keempat yakni tentang bagian yang paling penting dari sebuah pensil. Jika kamu perhatikan, bagian yang paling bermanfaat bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalamnya. Begitu pula dengan kita. Karenanya, kita harus selalu memupuk hal-hal baik yang ada di dalam diri kita dengan terus meningkatkan kualitas dalam diri. Karena itu, kita perlu terus memupuk kekayaan mental dalam setiap tindakan kita."
" Kualitas kelima adalah bahwa harus kita sadari jika sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan. Seperti juga manusia, kita harus selalu sadar dan waspada karena apa pun yang kita perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan dan goresan. Maka berhati-hatilah dalam berpikir, berucap, dan bertindak. Sehingga, goresan yang kita tinggalkan akan menjadi guratan yang memberi manfaat bagi diri dan orang lain."
"Belajar tanpa berpikir tidak berguna. Berpikir tanpa belajar berbahaya"
Unknown
Mengetahui cara belajar adalah hal terpenting dalam hidup ~unknown~
Cari Blog Ini
Selasa, 03 Mei 2011
Senin, 02 Mei 2011
Garam dan Air (Andrie Wongso)
Alkisah, tampak seorang murid berwajah murung akhir-akhir ini. Ia mengerjakan segala sesuatu dengan gelisah dan tidak bersemangat, seakan banyak masalahyang ada di pikirannya. Sang guru yang memperhatikan murid tersebut, memanggil ke ruangannya dan berkata:
"Bapak perhatikan, kenapa kamu selalu murung anakku? Bukankah banyak hal indah di kehidupan ini? Kemana perginya wajah ceria dan bersemangat kepunyaanmu dulu?"
"Guru, belakangan ini hidup saya sedang penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang tidak ada habis-habisnya. Serasa tak ada lagi sisa untuk kegembiraan," jawab si murid sambil tertunduk lesu.
Sambil tersenyum bijak sang guru berkata,"Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam di dapur. Bawalah kemari. Biar bapak coba perbaiki suasana hatimu itu."
Si murid pun bergegas melakukan permintaan gurunya sambil berharap dalam hati mudah-mudahan gurunya memberi jalan keluar bagi permasalahan hidupnya.
Setibanya di hadapan sang guru, "Ambil garamnya dan masukkan ke segelas air itu, kemudian aduk dan coba kamu minum."
Wajah si murid langsung meringis setelah meminum airasin tersebut.
"Bagaimana rasanya?" tanya sang guru dengan senyumlebar di bibirnya.
"Asin, tidak enak, dan perutku rasanya jadi mual," jawabsi murid dengan wajah masih meringis.
Kemudian sang guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. Danau itu begitu indah, airnya bening karena sumber air alam yang selalu mengairi di situ.
"Ambil air garam dan garam yang tersisa dan tebarkan ke danau," perintah sang guru. Si murid dengan patuh memenuhi permintaan gurunya.
"Sekarang, coba kamu minum sedikit air danau itu". Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air di danau dan meminumnya. "Bagaimana rasanya?"
"Segar, segar sekali," kata si murid. "Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah sini."
"Terasakah rasa garam yang kamu tebarkan tadi?"
"Tidak, tidak sama sekali guru," kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi.
"Nak, segala masalah dalam hidup ini sama seperti segenggam garam. Tidak kurang tidak lebih. Rasa 'asin' sama seperti masalah, kesulitan, penderitaan yang dialami setiap manusia, dan tidak ada manusia yang bebas dari permasalahan dan penderitaan. Benar kan?
Tetapi Nak, seberapa rasa 'asin' dari penderitaan yang dialami setiap manusia sesungguhnya tergantung dari besarnya hati yang menampungnya . Maka, jangan memiliki kesempitan hati seperti gelas tadi, tetapi jadikan hatimu menjadi sebesar danau sehingga semuakesulitanmu tidak akan mengganggu rasa di jiwamu dan kamu tetap bisa bergembira walaupun sedang dilanda masalah. Nah, mudah-mudahan penjelasan gurumu ini bisa memperbaiki suasana hatimu."
"Bapak perhatikan, kenapa kamu selalu murung anakku? Bukankah banyak hal indah di kehidupan ini? Kemana perginya wajah ceria dan bersemangat kepunyaanmu dulu?"
"Guru, belakangan ini hidup saya sedang penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang tidak ada habis-habisnya. Serasa tak ada lagi sisa untuk kegembiraan," jawab si murid sambil tertunduk lesu.
Sambil tersenyum bijak sang guru berkata,"Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam di dapur. Bawalah kemari. Biar bapak coba perbaiki suasana hatimu itu."
Si murid pun bergegas melakukan permintaan gurunya sambil berharap dalam hati mudah-mudahan gurunya memberi jalan keluar bagi permasalahan hidupnya.
Setibanya di hadapan sang guru, "Ambil garamnya dan masukkan ke segelas air itu, kemudian aduk dan coba kamu minum."
Wajah si murid langsung meringis setelah meminum airasin tersebut.
"Bagaimana rasanya?" tanya sang guru dengan senyumlebar di bibirnya.
"Asin, tidak enak, dan perutku rasanya jadi mual," jawabsi murid dengan wajah masih meringis.
Kemudian sang guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. Danau itu begitu indah, airnya bening karena sumber air alam yang selalu mengairi di situ.
"Ambil air garam dan garam yang tersisa dan tebarkan ke danau," perintah sang guru. Si murid dengan patuh memenuhi permintaan gurunya.
"Sekarang, coba kamu minum sedikit air danau itu". Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air di danau dan meminumnya. "Bagaimana rasanya?"
"Segar, segar sekali," kata si murid. "Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah sini."
"Terasakah rasa garam yang kamu tebarkan tadi?"
"Tidak, tidak sama sekali guru," kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi.
"Nak, segala masalah dalam hidup ini sama seperti segenggam garam. Tidak kurang tidak lebih. Rasa 'asin' sama seperti masalah, kesulitan, penderitaan yang dialami setiap manusia, dan tidak ada manusia yang bebas dari permasalahan dan penderitaan. Benar kan?
Tetapi Nak, seberapa rasa 'asin' dari penderitaan yang dialami setiap manusia sesungguhnya tergantung dari besarnya hati yang menampungnya . Maka, jangan memiliki kesempitan hati seperti gelas tadi, tetapi jadikan hatimu menjadi sebesar danau sehingga semuakesulitanmu tidak akan mengganggu rasa di jiwamu dan kamu tetap bisa bergembira walaupun sedang dilanda masalah. Nah, mudah-mudahan penjelasan gurumu ini bisa memperbaiki suasana hatimu."
Minggu, 01 Mei 2011
Refleksi - Prie GS
Ternyata lebih gampang membangun gedung yang terbakar katimbang menangkap pembakarnya. Itulah yang dialami Pemerintah Kota Semarang yang telah meresmikan Gedung Setda belum lama ini. Rp 11,7 miliar dihabiskan untuk biaya renovasi. Sekitar 100 perajin dari Jepara didatangkan untuk menggarap ukiran kayunya. Sementara si pembakar entah sembunyi di mana. Pemkot telah menyerahkan urusannya pada polisi, polisi menyerahkan pada kejaksaan dan Kepala Kejaksaan mengaku belum banyak tahu karena ia adalah pejabat baru.
Fakta di atas bisa mengundang berbagai penafsiran. Tapi salah satu yang menarik ialah tentang tafsir yang menunjukkan betapa dalam kemiskinan pun kita lebih bersemangat membangun katimbang mencegah perusak pembangunan. Lebih gampang mengganti lampu-pampu taman yang pecah katimbang menangkap pemecahnya. Lebih baik mengaspal jalan kembali katimbang mencegah penggalian lobang yang bisa terjadi setiap kali.
Jalan pikiran kita dalam memecahkan masalah tampaknya memang lebih suka "berpikir ke depan" katimbang mengusut hal-hal yang ada di belakang. Maka jika publik mempersoalkan pemasangan papan reklame di kawasan terlarang, seorang pejabat bisa berkata: "Sudahlah kenapa harus dibesarkan-besarkan. Mari kita berpikir saja soal masa depan."
Jika penggalian harta karun kemudian memancing keributan, seorang petinggi bisa mengatakan: "Yang bersangkutan sudah dimarahi habis-habisan. Sudah minta maaf. Maka sudahlah." Jika seorang kedapatan korupsi dan publik ramai-ramai meminta keadilan hukum, seorang tokoh penting bisa berkata: "Kenapa pula harus ada hukuman. Toh duitnya sudah dikembalikan."
Kita seperti manusia yang diprogram hanya untuk bergerak maju dan berpikiran maju. Artinya, jika seorang pejabat tengah berkuasa, yang menyita pikirannya bukan program pembangunan secara terpadu, melainkan pembangunan menurut kepentinganku dan mumpung masih dalam periodeku. Soal kerepotan periode di belakangku bukan urusanku. Maka wajar jika hasil pembangunan bisa demikian ruwet.
Ada cukup bukti tentang kebijakan yang terbukti keliru. Ada tempat rekreasi yang dibuat hanya untuk tidak laku.Ada kebun binatang yang dipindah lokasi hanya untuk mati suri. Ada tebing-tebing dikepras yang membuat dataran tak memiliki tekstur tanah lagi. Ada restoran yang didirikan di atas ruang publik. Ada lapangan yang telah membawa kegembiraan dijual untuk lokasi bangunan....
Semua jenis kebijakan itu adalah indikasi betapa bersemangat kita ini dalam memikirkan masa depan: masa depan kita sendiri. Semangat itu bahkan telah melebar begitu jauh sampai ke sopir-sopir angkutan yang bisa berhenti dan ngetem sembarangan tak pedulibikin macet jalan. Sampai ke pedagang kaki lima yang menggasak trotoar dan merugikan para pejalan kaki. Sampai ke para pengusaha yang berhasil mengeruk kredit raksasa untuk dibikin macet secara sengaja. Sampai ke pemilik bank yang membobol banknya sendiri untuk dilarikan ke luar negeri....
Semua dari kita ternyata adalah pemikir masa depan yang hebat: masa depan kita sendiri. Maka terjadilah tabrakan kepentingan yang begitu hebat dengan akibat yang jelas: kebangkrutan Indonesia. Sementara dalam situasi bangkrut begini pembelaan atas diri sendiri itu terus saja berlanjut. Solar kembali langka karena punya potensi diselundupkan ke luar negeri dan dijual ilegal kepihak industri. Makin tampak segar sayur-mayur Indonesia justru makin menakutkan karena dugaan banyaknya olesan pestisida.
Kita benar-benar manusia yang begitu mandiri karena di luar diri sendiri dianggap tak ada kepentingan lain lagi. Itulah kenapa di masa sulit, kita masih sempat membakar bendera tetangga dan merobohkan pagar kedutaaanya segala.
Tindakan ini sangat bisa dimengerti karena prioritas kita memang serba kepada diri sendiri. Maka demi menyalurkan kemarahan ini kita bisa menganggap remeh risiko bahwa orang lain juga bisa ganti membakar bendera, ganti bisa menganiaya dan mengangkat senjata. Perkara akibat dari ini semua akan timbul kerusakan hebat, apalah yang aneh dari kerusakan toh sudah sejak lama kita biasa melakukannya.
Maka ketersingungan diri sendiri ini harus dipertajam sedemikian rupa. Bahwa hukuman cambuk atas TKI itu memang tidak manusiawi. Maklum, kita adalah bangsa yang punya banyak cadangan kemanusiaan. Terbukti untuk menangkap seorang buron saja bisa butuh waktudemikan lama karena rasa tak tega. Mengadili kasus korupsi memang harus hati-hati karena tak enak hati. Apapun bentuk kesalahan seseorang harus segera mendapat pengampunan jika permintaan maaf sudah dilontarkan. Sebesar apapun sebuah masalah harus segera dikecilkan lewat anjuran "jangan dibesar-besarkan".
Sungguh mengagumkan cara kita mengabaikan masa silam. Itulah kenapa dunia hukum kita terkenal sangat lambat karena hukum memang selalu mengurus masa silam. Pengggerak hukum semacam itu logis jika kehilangan interes karena pikirannya memang selalu tersita ke masa depan: masa depannya sendiri. Akibatnya ada pemutus keadilan malah bisa ganti diadili, diusut kekayaannya, terancam dipecat atau minimal dimutasi karena diduga melakukan perbuatan tercela.
Tapi kalau mau tegas, pengadil yang mengadili petugas keadilan itu juga harus diadili karena memberi fatwa pengadilan yang tidak adil. Pengertian "melakukan perbuatan tercela" itu adalah kesalahan yang sangat tidak jelas bentuknya. Dan ketidakjelasan ini bisa saja disengaja sepanjang yang menjadi alasan memang demi nama baik korps sendiri, demi toleransi kolega sendiri. Jadi, kata "sendiri" itu begitu hebat perannya hingga bisa membuat orang lain tidak ada dan kepentingannya boleh dirusak begitu saja. (03)
(PrieGS/)
Fakta di atas bisa mengundang berbagai penafsiran. Tapi salah satu yang menarik ialah tentang tafsir yang menunjukkan betapa dalam kemiskinan pun kita lebih bersemangat membangun katimbang mencegah perusak pembangunan. Lebih gampang mengganti lampu-pampu taman yang pecah katimbang menangkap pemecahnya. Lebih baik mengaspal jalan kembali katimbang mencegah penggalian lobang yang bisa terjadi setiap kali.
Jalan pikiran kita dalam memecahkan masalah tampaknya memang lebih suka "berpikir ke depan" katimbang mengusut hal-hal yang ada di belakang. Maka jika publik mempersoalkan pemasangan papan reklame di kawasan terlarang, seorang pejabat bisa berkata: "Sudahlah kenapa harus dibesarkan-besarkan. Mari kita berpikir saja soal masa depan."
Jika penggalian harta karun kemudian memancing keributan, seorang petinggi bisa mengatakan: "Yang bersangkutan sudah dimarahi habis-habisan. Sudah minta maaf. Maka sudahlah." Jika seorang kedapatan korupsi dan publik ramai-ramai meminta keadilan hukum, seorang tokoh penting bisa berkata: "Kenapa pula harus ada hukuman. Toh duitnya sudah dikembalikan."
Kita seperti manusia yang diprogram hanya untuk bergerak maju dan berpikiran maju. Artinya, jika seorang pejabat tengah berkuasa, yang menyita pikirannya bukan program pembangunan secara terpadu, melainkan pembangunan menurut kepentinganku dan mumpung masih dalam periodeku. Soal kerepotan periode di belakangku bukan urusanku. Maka wajar jika hasil pembangunan bisa demikian ruwet.
Ada cukup bukti tentang kebijakan yang terbukti keliru. Ada tempat rekreasi yang dibuat hanya untuk tidak laku.Ada kebun binatang yang dipindah lokasi hanya untuk mati suri. Ada tebing-tebing dikepras yang membuat dataran tak memiliki tekstur tanah lagi. Ada restoran yang didirikan di atas ruang publik. Ada lapangan yang telah membawa kegembiraan dijual untuk lokasi bangunan....
Semua jenis kebijakan itu adalah indikasi betapa bersemangat kita ini dalam memikirkan masa depan: masa depan kita sendiri. Semangat itu bahkan telah melebar begitu jauh sampai ke sopir-sopir angkutan yang bisa berhenti dan ngetem sembarangan tak pedulibikin macet jalan. Sampai ke pedagang kaki lima yang menggasak trotoar dan merugikan para pejalan kaki. Sampai ke para pengusaha yang berhasil mengeruk kredit raksasa untuk dibikin macet secara sengaja. Sampai ke pemilik bank yang membobol banknya sendiri untuk dilarikan ke luar negeri....
Semua dari kita ternyata adalah pemikir masa depan yang hebat: masa depan kita sendiri. Maka terjadilah tabrakan kepentingan yang begitu hebat dengan akibat yang jelas: kebangkrutan Indonesia. Sementara dalam situasi bangkrut begini pembelaan atas diri sendiri itu terus saja berlanjut. Solar kembali langka karena punya potensi diselundupkan ke luar negeri dan dijual ilegal kepihak industri. Makin tampak segar sayur-mayur Indonesia justru makin menakutkan karena dugaan banyaknya olesan pestisida.
Kita benar-benar manusia yang begitu mandiri karena di luar diri sendiri dianggap tak ada kepentingan lain lagi. Itulah kenapa di masa sulit, kita masih sempat membakar bendera tetangga dan merobohkan pagar kedutaaanya segala.
Tindakan ini sangat bisa dimengerti karena prioritas kita memang serba kepada diri sendiri. Maka demi menyalurkan kemarahan ini kita bisa menganggap remeh risiko bahwa orang lain juga bisa ganti membakar bendera, ganti bisa menganiaya dan mengangkat senjata. Perkara akibat dari ini semua akan timbul kerusakan hebat, apalah yang aneh dari kerusakan toh sudah sejak lama kita biasa melakukannya.
Maka ketersingungan diri sendiri ini harus dipertajam sedemikian rupa. Bahwa hukuman cambuk atas TKI itu memang tidak manusiawi. Maklum, kita adalah bangsa yang punya banyak cadangan kemanusiaan. Terbukti untuk menangkap seorang buron saja bisa butuh waktudemikan lama karena rasa tak tega. Mengadili kasus korupsi memang harus hati-hati karena tak enak hati. Apapun bentuk kesalahan seseorang harus segera mendapat pengampunan jika permintaan maaf sudah dilontarkan. Sebesar apapun sebuah masalah harus segera dikecilkan lewat anjuran "jangan dibesar-besarkan".
Sungguh mengagumkan cara kita mengabaikan masa silam. Itulah kenapa dunia hukum kita terkenal sangat lambat karena hukum memang selalu mengurus masa silam. Pengggerak hukum semacam itu logis jika kehilangan interes karena pikirannya memang selalu tersita ke masa depan: masa depannya sendiri. Akibatnya ada pemutus keadilan malah bisa ganti diadili, diusut kekayaannya, terancam dipecat atau minimal dimutasi karena diduga melakukan perbuatan tercela.
Tapi kalau mau tegas, pengadil yang mengadili petugas keadilan itu juga harus diadili karena memberi fatwa pengadilan yang tidak adil. Pengertian "melakukan perbuatan tercela" itu adalah kesalahan yang sangat tidak jelas bentuknya. Dan ketidakjelasan ini bisa saja disengaja sepanjang yang menjadi alasan memang demi nama baik korps sendiri, demi toleransi kolega sendiri. Jadi, kata "sendiri" itu begitu hebat perannya hingga bisa membuat orang lain tidak ada dan kepentingannya boleh dirusak begitu saja. (03)
(PrieGS/)
Langganan:
Komentar (Atom)